Saat Artificial Intelligence (AI) tumbuh lebih canggih dan tersebar luas, suara-suara yang memperingatkan potensi bahaya kecerdasan buatan itu semakin keras.
Seperti kata Stephen Hawking, “Perkembangan AI bisa berarti akhir dari umat manusia.” Hal itu tidak Hawking ungkap sendirian.
Pendiri Tesla dan SpaceX, Elon Musk, mengaku bahwa AI membuat dirinya takut.
“Kecerdasan buatan bisa melakukan lebih dari yang diketahui hampir semua orang, peningkatan kemampuannya bersifat eksponensial.” Pencipta ChatGPT Ingin Kembangkan AI yang Dapat Lahirkan Temuan Baru Mulai dari peningkatan otomatisasi pekerjaan tertentu, algoritma yang bias gender dan rasial, senjata otonom yang beroperasi tanpa kendali manusia, hingga kegelisahan di sejumlah bidang lainnya.
Manusia kini bahkan masih dalam tahap paling awal dalam mengembangkan kemampuan teknologi AI yang sesungguhnya.
Pertanyaan tentang siapa yang membuat AI dan apa tujuannya semakin penting untuk memahami potensi kerugian robot tersebut.
Sejumlah komunitas teknologi telah lama memperdebatkan ancaman dari hadirnya kecerdasan buatan.
Otomatisasi pekerjaan, berita palsu, hingga senjata bertenaga AI disebut-sebut sebagai bahaya terbesar saat ini.
Simak lebih dekat kemungkinan bahaya kecerdasan buatan dan eksplorasi cara mengelola risikonya.
Dibantu AI, The Beatles akan Rilis Lagu Terakhir Tahun Ini Otomatisasi pekerjaan yang didukung AI menjadi perhatian yang mendesak karena tampak diadopsi oleh industri pemasaran, manufaktur, hingga kesehatan.
Sebanyak 85 juta pekerjaan diperkirakan akan hilang akibat otomatisasi dari 2020 hingga 2025.
Karyawan dari kelompok marginal pun semakin rentan.
Saat robot AI menjadi lebih pintar dan cekatan, sebuah pekerjaan bakal membutuhkan lebih sedikit manusia.
AI mungkin akan menciptakan 97 juta pekerjaan baru pada 2025 secara bersamaan, tetapi banyak karyawan rawan tertinggal lantaran tidak memiliki keterampilan teknis semacam itu.
Laporan tahun 2018 tentang potensi penyalahgunaan AI mencantumkan manipulasi sosial sebagai salah satu bahaya utama kecerdasan buatan.
Ketakutan ini tercermin dari tindakan politisi yang mengandalkan sebuah platform untuk mempromosikan sudut pandang mereka.
Seperti Bongbong Marcos, ia mengerahkan pasukan provokatif TikTok untuk merebut suara anak muda Filipina selama Pemilu 2022.
Algoritma AI TikTok memenuhi beranda pengguna dengan konten-konten yang saling terkait satu sama lain.
Kritik pun bermunculan karena algoritma itu dianggap gagal untuk menyaring konten berbahaya dan tidak akurat.
TikTok diragukan mampu melindungi penggunanya dari konten yang menyesatkan.
Media berita online bahkan lebih suram mengingat deepfake yang menyusup ke ranah politik dan sosial.
Mengganti wajah seseorang dengan sosok lainnya dalam sebuah foto atau video menjadi pekerjaan mudah bagi AI.
Akibatnya, terbuka jalan bagi pihak-pihak tak bertanggung jawab untuk menyebarkan hoaks dan propaganda.
Sulit membedakan suatu berita yang berisi informasi benar atau salah.
Selain ancaman yang bersifat eksistensial, AI juga akan berdampak buruk pada keamanan privasi.
Contoh utamanya adalah penggunaan teknologi pengenalan wajah (face recognition) di banyak tempat umum.
Jenis AI ini lebih lanjut dapat melacak pergerakan seseorang, mengumpulkan data aktivitas dan relasi, bahkan pandangan politik.
Selain bias data dan algoritma, AI dibuat oleh manusia dan manusia sendiri pada dasarnya adalah bias.
Pengembang AI kebanyakan adalah laki-laki dari demografi dan ras tertentu, tumbuh di lingkungan sosial ekonomi yang tinggi, dan tanpa disabilitas.
Populasi mereka sangat homogen sehingga sulit untuk berpikir lebih luas soal masalah dunia.
Contoh sederhananya adalah ketika teknologi pengenalan wicara (speech recognition) sukar memahami dialek atau aksen tertentu.
Banyak perusahaan AI juga tidak mempertimbangkan konsekuensi dari chatbot yang meniru tokoh-tokoh terkenal.
Mereka harus lebih berhati-hati atas terciptanya bias dan prasangka kuat yang membahayakan populasi minoritas.
Meluasnya ketimpangan sosial ekonomi akibat hilangnya pekerjaan yang didorong oleh AI adalah penyebab lain yang perlu dikhawatirkan.
Pekerja kerah biru (kelas buruh) yang melakukan lebih banyak tugas manual dan berulang telah mengalami penurunan upah hingga 70 persen karena otomatisasi.
Sementara itu, pekerja kerah putih (kelas kantoran) sebagian besar tidak terdampak, gajinya bahkan menjadi lebih tinggi.
Klaim bahwa AI telah mengatasi batas-batas sosial atau menciptakan lebih banyak pekerjaan gagal terwujud melihat dari sekumpulan efek sampingnya.
Sangat penting untuk mempertimbangkan perbedaan berdasarkan ras, kelas, dan kategori lain.
Jika tidak, AI dan otomatisasi justru hanya menguntungkan kelompok tertentu dengan mengorbankan kelompok sisanya.
Bersama dengan para teknolog, jurnalis dan tokoh politik, bahkan para pemuka agama, menyuarakan peringatan tentang potensi jebakan sosio-ekonomi AI.
Sebuah kecerdasan buatan mampu mengedarkan opini tendensius dengan data-data palsu.
Lebih banyak konsekuensi bisa terjadi jika AI dibiarkan berkembang tanpa pengawasan yang tepat.
Masalah di sisi lain adalah mentalitas tentang, “Jika dapat menghasilkan uang dari sesuatu, kita akan lakukan apa pun itu.” Tak peduli seberapa besar risiko kecerdasan buatan, perusahaan-perusahaan teknologi dikhawatirkan bakal terus mendorong perkembangannya kalau itu menghasilkan banyak uang.
OpenAI bahkan baru saja tersandung kasus mengupah rendah karyawan Kenya yang bertugas menyempurnakan ChatGPT.
Seperti yang sering terjadi, kemajuan teknologi juga telah dimanfaatkan untuk tujuan peperangan.
Untungnya, beberapa pihak telah mencegah meluasnya AI di bidang persenjataan ini.
Dalam surat terbuka tahun 2016, lebih dari 30.000 orang, termasuk peneliti AI dan robotika, menolak investasi dalam pembuatan senjata otonom “berbahan bakar” AI.
Jika ada kekuatan militer besar yang mendorong pengembangan senjata AI, perlombaan senjata global akan hampir tak terelakkan.
Prediksi ini membuahkan hasil dalam bentuk Sistem Senjata Otonomi Mematikan yang mampu menghancurkan target hanya dengan segelintir kueri dan regulasi.
Bahaya bakal menjadi jauh lebih besar ketika senjata otonom itu jatuh ke tangan yang salah.
Saat persaingan politik dan penghasut perang cenderung tak terkendali, kecerdasan buatan dapat diterapkan dengan niat buruk.
Industri keuangan menjadi lebih mudah menerima keterlibatan teknologi AI dalam keuangan sehari-hari dan proses perdagangan.
Akibatnya, perdagangan algoritmis mungkin harus bertanggung jawab atas krisis keuangan besar di masa depan.
Algoritma AI tidak mempertimbangkan konteks, keterkaitan pasar, dan faktor-faktor seperti kepercayaan dan ketakutan manusia.
AI bisa saja menyebabkan kejatuhan tiba-tiba dan volatilitas pasar yang ekstrem.
Namun, itu bukan berarti AI tidak memberi keuntungan apa pun ke dunia keuangan.
Algoritma AI juga bisa membantu investor dalam membuat keputusan yang lebih cerdas dan tepat.
Untuk mendapat hasil maksimal dari teknologi AI, sejumlah ahli berpendapat bahwa lebih banyak regulasi harus digaungkan.
Berikut sejumlah langkah paling dasar untuk mengurangi risiko dari adanya kecerdasan buatan.
Pilihan editor: Mengenal Apa itu Artificial Intelligence dan Contohnya SYAHDI MUHARRAM